HedlineKhutbah Jumat

Khutbah Jumat: Maha Suci Allah

Oleh: KH. Syamsul Yakin
Dai LDDA Kota Depok

Surah al-Muluk dibuka dengan pujian “tabaaraka” atau maha suci. Kata ini, yakni “tabaaraka” ada di pangkal ayat pertama. Secara bahasa kata “tabaaraka” semakna dengan kata “taqaddasa”. Baik “tabaaraka” maupun “taqaddasa” dalam bahasa Indonesia bermakna maha suci. Kedua kata itu semakna juga dengan kata “nazzaha”. Allah berfirman, “Maha Suci Allah yang menguasai (segala) kerajaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. al-Muluk/67: 1).

Kata “tabaaraka” yang merupakan derivasi dari kata “al-barakah” dapat berarti bertambah dan bertumbuh, baik secara ruhani maupun jasmani. Oleh karena itu, dari kata ini muncul ucapan selamat yang kerap terdengar, yakni “baarakallah” atau ungkapan syukur “tabaarakallah. Dalam bahasa al-Qur’an di atas kata “tabaaraka” Allah hendak menunjukkan bahwa zat-Nya adalah puncak kesempurnaa. Dia yang memiliki keagungan dan kehormatan tertinggi.

Di dalam Tafsir Jalalain terungkap bahwa yang dimaksud Maha Suci Allah, yakni bahwa Allah terbebas dari sifat-sifat makhluk. Seperti bersifat temporer, lemah, merasakan lapar, mengantuk dan lainnya. Allah juga terpelihara dari beranak dan diperanakkan. Seperti firman-Nya, “Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” (QS. al-Ikhlas/112: 3-4).

Kalau diteliti, selain al-Muluk surah lain yang dibuka dengan kata “tabaaraka” adalah surah al-Furqan. Allah menyatakan hal itu, “Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” (QS. al-Furqan/25: 1). Selain itu, kata “tabaaraka” terungkap juga dalam surah lain, seperti surah al-A’raf/7 ayat 54, surah al-Rahman/55 ayat 78, dan surah al-Mukminun/24 ayat 14.

Selanjutnya, terdapat frasa musytarak atau mengandung lebih dari dua makna). Pada ayat ini frasa musytarak itu mengandung makna konotatatif (majaz) bukan denotatif (hakiki atau makna sebenarnya). Frasa itu adalah “biyadihil mulku”. Bagi al-Zuhaili, kata “biyadihi” adalah konotatif dan kata “al-mulku” adalah denotatif.

Menurut Ibnu Katsir, frasa ini bermakna Allah yang mengatur semua makhluk berdasar kehendaki-Nya. Tidak ada akibat apapun yang telah diputuskan-Nya, dan tidak ada yang mempersoalkan tentang apa yang diperbuat-Nya. Hal itu terjadi lantaran keperkasaan-Nya, kebijaksanaan-Nya, dan keadilan-Nya. Kata musytarak tersebut terdapat juga dalam ayat, “Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), (pada hakikatnya) mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka” (QS. al-Fath/48: 10).

Ayat ini ditutup dengan ungkapan “dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Kata “qadiir” dalam al-Qur’an paling tidak dapat dijumpai 36 kali. Salah satu yang relevan dengan makna ayat di atas adalah, “Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Ali Imran/3: 26).

Ahli tafsir seperti al-Maraghi dan al-Zuhaili membuat tiga kesimpulan tentang ayat ini. Pertama, Allah Maha Agung dengan segala sifatnya. Hal ini yang membedakan Allah dengan makhluknya. Kedua, Allah adalah raja yang berkuasa penuh mengelola dan bumi, dunia dan akhirat. Ketiga, Allah adalah pemilik kekuasaan mutlak. Allah berkuasa memberi nikmat dan menyiksa, mengangkat dan menjatuhkan, serta memberi dan menolak siapa saja sesuai kehendak-Nya.*

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button