HedlineKhutbah Jumat

Khutbah Jumat: Ketika Kematian Nabi Diinginkan

Oleh: KH Syamsul Yakin
Pengasuh Ponpes Darul Akhyar

Allah berfirman, “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Terangkanlah (kepadaku) jika Allah mematikan aku dan orang-orang yang bersamaku atau memberi rahmat kepada kami (dengan memperpanjang umur kami,) lalu siapa yang dapat melindungi orang-orang kafir dari azab yang pedih?” (QS. al-Muluk/67: 28). Ayat ini turun untuk merespons orang-orang musyrik. Mereka sangat mendamba kematian Nabi dan orang-orang yang bersamanya.

Ayat ini merupakan hujjah (dalil) yang sangat kuat argumentasi logikanya dan sangat jelas alir retorikanya. Retorika ayat ini simpel, efektif, dan informatif. Inilah retorika al-Qur’an yang Allah ajarkan kepada Nabi-Nya untuk menghadapi orang-orang musyrik yang merasa terusik dengan eksistensi Nabi. Mereka tidak percaya akhirat. Tapi mereka takut apabila Nabi berbicara tentang akhirat. Inilah inkonsistensi mereka.

Dari ayat ini, didapat pelajaran. Pertama, mengemban amanah kebaikan penuh tantangan. Di antaranya terancamnya jiwa dan raga, keluarga, dan orang-orang terdekat dan para sahabat. Selama kurang lebih 13 tahun Nabi tabah dan sabar menghadapinya. Mulai dari sanksi sosial, boikat dan embargo ekonomi, sampai percobaan pembunuhan.

Kedua, pengemban amanah kebaikan akan selalu didampingi Allah. Nabi diajarkan untuk berkata, “Tahukah kamu jika Allah mematikan aku dan orang-orang yang bersamaku atau memberi rahmat kepada kami (dengan memperpanjang umur kami,) lalu siapa yang dapat melindungi orang-orang kafir dari azab yang pedih?” Tentu perkataan ini membuat orang musyrik terguncang hebat secara psikologis.

Di dalam Tafsir Jalalain diungkapkan bahwa orang-orang yang bersama Nabi adalah orang-orang beriman. Kalau pun kelak Allah akan mematikan mereka, maka surgalah untuk mereka. Mereka juga akan diberi rahmat berupa dipanjangkan umur dan ampunan dosa sehingga akhirnya mereka tidak disiksa.

Artinya, bagi Ibnu Katsir, orang-orang musyriklah yang harus berhati-hati. Mereka harus menyelamatkan diri mereka. Caranya, tulis Ibnu Katsir, dengan bertobat kepada Allah. Kembali kepada ajaran mereka yang hanif. Sebaiknya mereka tidak perlu lagi menginginkan kematian Nabi dan orang-orang yang bersamanya. Apalagi berharap mereka disiksa di akhirat.

Sebab Nabi dan orang-orang yang bersamanya dimatikan atau ditunda kematian mereka oleh Allah, sama sekali tidak mengubah keadaan orang-orang musyrik. Di dunia mereka tidak ada yang melindungi. Sementara di akhirat mereka akan mendapat siksa. Kelak mereka akan mengetahui sendiri siapa yang sebenarnya dalam kesesatan yang nyata.

Di samping itu, bagi orang-orang musyrik tidak ada yang menjamin ajal mereka ditangguhkan Allah. Karena rahmat Allah mustahil turun buat mereka. Sementara di akhirat dapat dipastikan mereka tidak akan dimaafkan. Jadi untuk apalagi mereka menginginkan kematian Nabi. Semua itu tak lain karena mereka menaruh benci dan dendam kesumat kepada Nabi.

Kembali ke pangkal ayat, ketika Nabi berkata “ara aytum” atau “terangkanlah kepadaku” dapat dipastikan mereka tidak dapat mengelak. Mereka tidak mampu membalas. Mereka diam seribu bahasa. Ayat yang turun sebagi respons terhadap kaum musyrik di Mekah ini memberi isyarat bahwa kian melemahnya posisi mereka dan kian kuatnya argumentasi ajaran tauhid yang dibawa Nabi. Maka salah satu cara melenyapkan Nabi adalah dengan membunuh beliau.

Secara psikologis, ada dua potret orang-orang kalah. Pertama, agresor. Melenyapkan pesaing dengan cara apapun. Dalam konteks ini, orang-orang musyrik membuat sayembara untuk membunuh Nabi. Kedua, “zero sum zero” atau sapu musnah. Keuntungan Nabi harus dibalas dengan kerugian yang didapat oleh beliau, sehingga hasilnya nol-nol. Kalau pun mereka kalah, Nabi tidak boleh menang.*

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button